Jombang (beritajombang.net) Bagi peminat sejarah, sedikit banyak pasti mengenal salah satu peninggalan Kerajaan Majapahit ini, Candi Arimbi. Sementara bagi saya, setidaknya pada Oktober 1989, ketika saya baru menginjak kelas VI SD, pernah mengunjunginya sebagai satu rangkaian kegiatan kepramukaan ketika itu. Tempat ini dipilih karena secara geografis lebih dekat dengan kampung halaman dimana SD saya berada. Disamping itu, ketika itu lagi demam sandiwara radio “Tutur Tinular” dan “Mahkota Mayangkara”, sebuah cerita rakyat yang bersumber dari sejarah Majapahit. Latar dari cerita itu salah satunya adalah Candi Arimbi dan tentu saja Gunung Anjasmara, yang menjadi tempat tumpah darah saya.
Hal-hal itulah yang membuat saya terusik dan tertarik untuk membaca buku-buku sejarah yang mengulas tentang Candi Arimbi dan seputar Kerajaan Majapahit. Dan ternyata setelah saya bandingkan ketika itu, isi atau cerita dalam sandiwara radio dan buku-buku hampir tak jauh berbeda.
Maka, dalam kesempatan ini saya kembali “terusik dan tertarik” untuk menuliskannya apa-apa yang saya ingat dari cerita dan buku-buku itu. Kebetulan juga beberapa hari yang lalu saya sempat berkunjung ke tempat ini. Kunjungan itu saya lakukan setelah beberapa hari sebelumnya, ketika membongkar lemari buku, saya menemukan buku saku kegiatan waktu SD yang sempat mencatat kegiatan kunjungan ke beberapa tempat bersejarah tertanggal 19 Oktober 1989.
Candi Arimbi ini adalah salah satu di antara sekian banyak peninggalan Majapahit namun letaknya sangat terpencil dari semua peninggalan Majapahit lainnya. Peninggalan Kerajaan Majapahit kebanyakan terdapat di daerah Majokerto. Di sekitar Candi Arimbi ini ditanami dengan aneka bunga dan dikelilingi pohon-pohon cengkeh.
Dilihat dari motif atau corak arsitekturnya, Candi Arimbi mempunyai latar belakang agama Hindu, dimana di candi ini dulu terdapat Arca Purwati sebagai istri Dewa Siwa yang sekarang disimpan di Museum Nasional Jakarta. Sementara di pelataran atau halaman candi terdapat arca-arca yang berciri khas Hindu.
Nama lain dari Candi Arimbi adalah Caungkup Pulo. Sedangkan nama Arimbi dihubungkan dengan nama tokoh dalam pewayangan, yaitu Dewi Arimbi sebagai isteri dari Raden Werkudoro. Candi ini mempunyai ruangan pusat, tempat Arca Purwati dan arcanya sekarang di Museum Nasional Jakarta, yang melukiskan Tribuwana Wijaya Tungga Dewi, Raja Majapahit yang memerintah pada tahun 1328–1350 M. Masa pembangunan Candi Arimbi pada abad XIV M pada jaman Majapahit.
Secara administratif letak situs Candi Arimbi berada di Desa Pulosari Kecamatan Bareng Kabupaten Jombang, secara arsitektural bangunan Candi Arimbi berdiri di atas alas dengan tinggi dan tangga masuk berada di sebelah barat, bahan terbuat dari batu andesit sedangkan pondasinya dari bata, arah hadapnya ke barat. Situs Candi Arimbi sekarang memiliki luas 896.56 m2.
Candi ini terletak di sebelah tenggara Kota Jombang atau sekitar 24 km dari Kota Jombang. Dari Mojoagung atau jalan provinsi yang menghubungan Surabaya-Jombang, candi ini terletak di sebelah selatan dengan jarak tempuh ± 17 km menuju kawasan pegunungan Wonosalam. Tinggi candi ± 10 m, lebar ± 6 m dan panjangnya ± 8 m. Setelah wafatnya Dewi Arimbi, konon jasadnya disemayamkan di Candi Arimbi ini. Sejak saat itu pula lambat laun wilayah di sekitar candi ini dikenal sebagai Dusun Ngrimbi.
Namun sayangnya, candi ini belum pernah dipugar atau mendapatkan perawatan selayaknya sehingga tak tampak lagi kemegahannya. Beberapa bagian candi setinggi sekitar delapan meter mulai terlihat pecah-pecah dan bagian puncak dan tengah keropos. Di musim hujan seperti saat ini, lumut hijau juga semakin subur tumbuh menutupi permukaannya. Hal ini seharusnya tak perlu terjadi jika ada ”sentuhan serius” dari pihak berwenang dan yang diberi tanggungjawab.
Untuk mencapai obyek wisata sejarah ini, dapat menggunakan berbagai macam alat transportasi. Ada angkutan umum dari Mojoagung menuju Wonosalam yang dapat ditempuh sekitar 30 menit. Lokasi candi persis di tepi jalan raya Mojoagung-Wonosalam. Namun, akan lebih enjoy jika perjalanan memakai kendaraan pribadi (mobil atau motor) sebab setelah kunjungan ke kawasan ini, kita bisa melanjutkan perjalanan sepuasnya untuk menikmati panorama lain di kawasan Pegunungan Anjasmara Wonosalam, apalagi di bulan ini (Desember) kawasan Wonosalam sedang musim durian, kita bisa berburu aneka jenis durian sepuas mungkin. Dengan mengunjungi situs ini dan kawasan sekitarnya, selain akan menambah pegetahuan sejarah dan kebudayaan kita, setidaknya kita juga telah membantu perekonomian para petani-petani kecil dengan memborong produk-produknya seperti durian lokal ini. Daripada uang kita (Anda) yang berlimpah terhambur untuk melancong ke luar negeri dan atau membeli produk-produk impor, alangkah bijaknya kalau Anda kucurkan keberlimpahan uang Anda itu untuk petani dalam negeri, apalagi kondisi sedang krisis seperti saat ini. Ada yang tertarik?
smbr . pecangkul